sumenep.pks.id - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sejak awal kemunculannya di panggung politik nasional selalu membawa identitas ganda: sebagai partai politik modern sekaligus sebagai gerakan dakwah. Identitas ini menghadirkan kekhasan, sekaligus tantangan yang tidak ringan. Di satu sisi, PKS dituntut mengikuti dinamika politik praktis yang penuh kompromi, persaingan, dan strategi kekuasaan. Di sisi lain, ia juga memikul tanggung jawab moral untuk tetap menjaga misi dakwah yang berpijak pada nilai-nilai Islam.
Dalam praktik politik sehari-hari, PKS berhadapan dengan realitas yang sering kali keras. Sebagai partai, PKS harus memperjuangkan kursi parlemen, terlibat dalam koalisi, serta ikut menentukan arah kebijakan publik. Politik praktis mengharuskan adanya lobi, negosiasi, dan kadang kompromi yang sulit dihindari. Bagi sebagian pengamat, hal ini kerap menimbulkan kesan bahwa PKS “terjebak” dalam pragmatisme politik sebagaimana partai lain.
Namun, di balik realitas politik tersebut, PKS berusaha mempertahankan corak dakwahnya. Kehadiran kader-kader PKS di parlemen tidak hanya dipahami sebagai perjuangan politik semata, tetapi juga sebagai sarana dakwah struktural. Dakwah di parlemen berarti menghadirkan nilai moral, etika, dan keberpihakan pada rakyat dalam setiap produk undang-undang maupun kebijakan negara. Dengan kata lain, politik dijadikan sebagai instrumen dakwah, bukan tujuan akhir.
Tantangan terbesar PKS justru terletak pada menjaga keseimbangan itu. Ketika terjun dalam politik praktis, partai ini tidak bisa lepas dari godaan kekuasaan dan risiko kompromi nilai. Sebaliknya, jika terlalu idealis tanpa menyesuaikan diri dengan dinamika politik, PKS berisiko terpinggirkan dan tidak mampu berkontribusi dalam kebijakan strategis. Maka, keberhasilan PKS sesungguhnya terletak pada sejauh mana ia mampu menjaga garis dakwah sembari tetap relevan dalam percaturan politik nasional.
Kehadiran PKS di parlemen diharapkan dapat menjadi penyeimbang sekaligus pengingat bahwa politik bukan sekadar perebutan kursi kekuasaan, melainkan sarana untuk menyejahterakan rakyat. Komitmen terhadap dakwah harus tampak dalam integritas kader, konsistensi sikap, serta keberanian menyuarakan kepentingan publik meski tidak selalu populer. Jika hal itu terjaga, maka perbedaan PKS dengan partai lain akan tetap terasa: partai ini tidak hanya hadir untuk menang, tetapi juga untuk menginspirasi dan memberi teladan.
Pada akhirnya, pertarungan PKS antara politik praktis dan dakwah parlemen adalah perjalanan panjang yang penuh ujian. Publik akan menilai bukan hanya dari jargon, melainkan dari rekam jejak dan konsistensi sikap. Jika PKS mampu menjadikan parlemen sebagai ruang dakwah yang hidup, maka ia akan tetap relevan dan menjadi warna penting dalam demokrasi Indonesia. (Ludianto)