Migas Sumenep dan Ketertinggalan Infrastruktur Kepulauan

sumenep.pks.id - Kabupaten Sumenep sering disebut sebagai “permata” di ujung timur Pulau Madura. Dengan wilayah administratif yang mencakup daratan dan gugusan kepulauan sebanyak 126 pulau, Sumenep memiliki kekayaan alam luar biasa, khususnya di sektor minyak dan gas bumi (migas). Potensi migas yang tersimpan di daratan hingga laut Sumenep, termasuk di Kepulauan Kangean, Pagerungan, dan sekitarnya, menjadikan daerah ini strategis dalam peta energi nasional.
Ludianto
Anggota Bidang KOMDIGI DPD PKS Sumenep

Namun, di balik limpahan sumber daya tersebut, muncul ironi yang menyakitkan. Kepulauan Sumenep, tempat sebagian besar aktivitas migas berlangsung, justru masih tertinggal dalam pembangunan infrastruktur. Masyarakat di pulau-pulau kecil yang menjadi “penjaga” kekayaan migas, hidup dalam keterbatasan akses jalan, listrik, air bersih, kesehatan, hingga pendidikan. Kondisi ini memperlihatkan wajah paradoks: daerah yang menyumbang energi untuk negeri, tetapi masyarakatnya masih kesulitan mengakses layanan dasar.

Ketimpangan yang Nyata

Jika kita menelusuri kepulauan Sumenep, potret ketimpangan akan terlihat jelas. Jalan darat yang menghubungkan antar-desa masih berupa tanah atau rusak parah, menyebabkan mobilitas warga dan distribusi barang terhambat. Transportasi laut, yang seharusnya menjadi urat nadi utama antar-pulau, sering kali tidak memadai. Dermaga banyak yang tidak layak, kapal penyeberangan terbatas, dan jadwal pelayaran tidak menentu. Akibatnya, harga kebutuhan pokok di pulau lebih tinggi dibandingkan daratan, karena ongkos distribusi yang mahal.

Di sisi lain, pasokan listrik belum merata. Banyak desa masih mengandalkan genset dengan biaya tinggi, atau hanya mendapatkan listrik beberapa jam dalam sehari. Hal ini membuat anak-anak kesulitan belajar di malam hari, dan pelaku usaha mikro terbatas dalam mengembangkan usahanya. Jaringan internet pun belum stabil, sehingga masyarakat kepulauan tertinggal dalam mengakses informasi dan peluang ekonomi digital.

Kondisi ini kontras dengan aktivitas eksploitasi migas yang berjalan masif di wilayah laut Sumenep. Perusahaan migas, baik nasional maupun asing, beroperasi dengan infrastruktur modern, namun masyarakat sekitar belum sepenuhnya merasakan dampak positif dari keberadaan mereka.

Dana Migas: Antara Pusat dan Daerah

Ketidakadilan pembangunan ini tidak lepas dari pola kebijakan pengelolaan migas di Indonesia. Hasil migas sebagian besar tersedot ke pusat melalui mekanisme penerimaan negara. Daerah penghasil hanya mendapat porsi kecil dari dana bagi hasil (DBH). Bahkan, alokasi dana tersebut tidak sepenuhnya diarahkan untuk membangun kepulauan yang menjadi sumber eksploitasi. Akibatnya, masyarakat kepulauan sering merasa hanya menjadi “penonton” di tengah aktivitas industri migas di halaman rumah mereka.

Dalam banyak forum, masyarakat lokal menuntut keadilan distributif: hasil bumi yang diambil dari kepulauan Sumenep seharusnya kembali dalam bentuk pembangunan nyata. Jika tidak, eksploitasi migas hanya akan meninggalkan luka sosial, lingkungan yang terdegradasi, dan masyarakat yang semakin tertinggal.

Infrastruktur sebagai Kunci Kesejahteraan

Infrastruktur adalah pintu masuk untuk mengurai ketertinggalan. Jalan yang baik akan membuka akses pasar bagi nelayan dan petani. Dermaga yang memadai akan memperlancar arus barang dan mobilitas warga antar-pulau. Listrik dan internet yang merata akan memicu tumbuhnya sektor pariwisata bahari, UMKM, hingga peluang kerja baru berbasis digital.

Sumenep memiliki potensi wisata luar biasa di kepulauan, mulai dari pantai berpasir putih, laut jernih, hingga budaya khas masyarakat pesisir. Namun, potensi itu sulit berkembang tanpa dukungan infrastruktur. Bayangkan jika akses transportasi laut lancar, fasilitas kesehatan memadai, dan jaringan komunikasi kuat — kepulauan Sumenep bisa menjadi destinasi unggulan yang menyejahterakan warga sekaligus menopang perekonomian daerah.

Saatnya Menegakkan Keadilan Pembangunan

Pemerintah pusat maupun daerah tidak boleh lagi menutup mata. Sumenep bukan hanya penghasil migas, tetapi juga bagian dari wajah Indonesia sebagai negara kepulauan. Pembangunan tidak boleh berpusat di daratan saja, sementara kepulauan dibiarkan berjalan sendiri. Prinsip keadilan distributif harus diwujudkan: hasil migas harus kembali ke rakyat dalam bentuk infrastruktur, layanan dasar, dan pemberdayaan ekonomi.

Selain itu, perusahaan migas yang beroperasi di Sumenep juga memiliki tanggung jawab sosial. Program CSR (Corporate Social Responsibility) tidak cukup sekadar berupa bantuan sesaat, tetapi harus diarahkan untuk pembangunan berkelanjutan: pendidikan, pelatihan kerja, perbaikan fasilitas publik, hingga konservasi lingkungan.

Migas untuk Masa Depan, Bukan Sekadar Devisa

Migas adalah sumber daya alam yang terbatas dan bisa habis. Karena itu, pembangunan berbasis migas harus dipandang sebagai momentum untuk menciptakan warisan jangka panjang bagi masyarakat kepulauan. Jika saat ini infrastruktur kepulauan diperkuat, maka setelah migas habis pun masyarakat masih memiliki fondasi ekonomi yang kokoh. Sebaliknya, jika pembangunan terus timpang, maka yang tertinggal hanyalah kerusakan lingkungan dan generasi yang kehilangan harapan.

Sumenep harus menjadi contoh bahwa kekayaan alam bisa menjadi berkah, bukan ironi. Pembangunan infrastruktur kepulauan bukan sekadar kebutuhan teknis, melainkan wujud keadilan sosial bagi rakyat yang selama ini hidup berdampingan dengan aktivitas migas.

Oleh : Ludianto
Share on Google Plus